KONSEP ARSITEKTUR TRADISIONAL TORAJA
Etnis Toraja mendiami dataran tinggi di kawasan utara Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah permukiman masyarakat Toraja terletak di pegunungan dengan ketinggian 600 hingga 2800m di atas permukaan laut. Temperatur udara kawasan permukiman masyarakat Toraja berkisar pada 150 hingga 300C. Daerah ini tidak berpantai, budayanya unik, baik dalam tari-tarian, musik, bahasa, makanan, dan kepercayaanAluktodolo yang menjiwai kehidupan masyarakatnya. Keunikan itu terlihat juga pada pola permukiman dan arsitektur tradisional rumah mereka, upacara pengantin serta ritual upacara penguburannya.Kondisi Tana Toraja, tang dipegunungan dan berhawa dingin diduga mendasari ukuran pintu dan jendela yang relatif kecil, lantai dan dindingnya dari kayu yang tebal. Ukuran atap rumah tradisional Toraja yang terbuat dari susunan bambu sangat tebal. Wujud konstruksi ini sangat diperlukan untuk menghangatkan temperatur udara interior rumah.
Masyarakat Tradisional Tana Toraja didalam membangun rumah tradisional mengacu pada kearifan budaya lokal–Kosmologi mereka yaitu :
Konsep ‘pusar’ atau ‘pusat rumah’ sebagai paduan antara kosmologi dan simbolisme
-Dalam perspektif kosmologi, rumah bagi masyarakat Toraja merupakan mikrokosmos, bagian dari lingkungan makrokosmos.
-Pusat rumah meraga sebagai perapian di tengah rumah, ataupun atap menjulang menaungi ruang tengah rumah dimana atap menyatu dengan asap-father sky
-Pusat rumah juga meraga sebagai tiang utama, seperti a’riri possi di Toraja, possi bola di Bugis, pocci balla di Makassar dimana tiang menyatu dengan mother earth
Pada masyarakat tradisional Toraja, dalam kehidupannya juga mengenal filosofi “Aluk A’pa Oto’na” yaitu empat dasar pandangan hidup : Kehidupan Manusia, kehidupan alam leluhur “Todolo”, kemuliaan Tuhan, adat dan kebudayaan. Keempat filosofi ini menjadi dasar terbentuknya denah rumah Toraja empat persegi panjang dengan dibatasi dinding yang melambangkan “badan” atau “Kekuasaan”. Dalam kehidupan masyarakat toraja lebih percaya akan kekuatan sendiri,“Egocentrum”. Hal ini yang tercermin pada konsep arsitektur rumah mereka dengan ruang-ruang agak tertutup dengan “bukaan” yang sempit.
Selain itu konsep arsitektur tradisional toraja, banyak dipengaruhi oleh ethos budaya “simuane tallang” atau filosofi “harmonisasi” dua belahan bambu yang saling terselungkup sebagaimana cara pemasangan belahan bambu pada atap rumah adat dan lumbung. Harmonisasi didapati dalam konsep arsitektur “Tongkonan” yang menginteraksikan secara keseluruhan komponen “tongkonan” seperti : Rumah, lumbung, sawah, kombong, rante dan liang, didalam satu sistem kehidupan dan penghidupan orang toraja didalam area tongkonan. Selain itu, makro dan mikro kosmos tetap terpelihara didalam tatanan kehidupan masyarakat tradisional toraja, dimana rumah dianggap sebagai “mikrokosmos”.
Images from : http://www.indonesia.travel/id/destination/477/tana-toraja/article/100/tongkonan-rumah-adat-toraja-yang-mengagumkan-penuh-makna
Tata letak rumah tongkonan berorientasi Utara – Selatan, bagian depan rumah harus berorientasi Utara atau arah Puang Matua “Ulunna langi’”dan bagian belakang Rumah ke Selatan atau arah tempat roh-roh “Pollo’na Langi’”. Sedangkan kedua arah mata angin lainnya mempunyai arti kehidupan dan pemeliharaan, pada arah Timur dimana para Dea “Dewata” memelihara dunia beserta isinya ciptaan “Puang Mutua”untuk memberi kehidupan bagi manusia, dan arah Barat adalah tempat bersemayam “To Membali Puang” atau tempat para leluhur “Todolo”. Atau selalu ada keseimbangan hidup di dunia dan akhirat. Kesemuanya ini diterjemahkan menjadi satu kata sederhana yaitu “keseimbangan”dan secara arsitektural “keseimbangan” selalu diaplikasikan kedalam bentuk “simetris” pada bangunan. Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa prinsip dasar Arsitektur Tradisional Toraja adalahsimetris, keterikatan dan berorientasi.
Rumah Adat Tradisional Tongkonan.
“Tongkonan”, rumah adat Toraja adalah merupakan bangunan yang sangat besar artinya, karena peranannya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Toraja. “Tongkonan” dalam fungsinya terbagi menjadi 4 macam tingkatan yaitu :
– “Tongkonan Layuk”, kedudukannya sebagai rumah tempat membuat peraturan adat istiadat.
– ” Tongkonan Pokamberan/Pokaindoran”, yaitu rumah adat yang merupakan tempat melaksanakan aturan dan perintah adat dalam suatu masalah daerah.
– “Tongkonan Batu A’riri”, yaitu tongkonan yang tidak mempunyai peranan dan fungsi sebagai tempat persatuan dan pembinaan keluarga dari keturunan pertama tongkonan itu, serta tempat pembinaan warisan, jadi mempunyai arti sebagai tiang batu keluarga.
– “Tongkonan Pa’rapuan”, fungsinya sama dengan Tongkonan Batu A’riri tetapi tidak boleh diukir seperti tiga tongkonan diatas dan tidak memakai Longa.
Sedangkan fungsi dan kegunaan penataan lantai bangunan tradisional rumah adat Toraja, dibedakan atas :
– ”Banua Sang Borong” atau ”Banua Sang Lanta”, adalah rumah untuk para Pengabdi kepada Penguasa Adat, pada jaman sekarang ini banyak didapati di kebun kebun. Pada rumah ini hanya terdapat satu tiang untuk melaksanakan kegiatan sehari hari.
– ”Banua Dang Lanta’’”, adalah bangunan yang tidak mempunyai peranan adat seperti ”Tongkonan Batu A’riri” yang terdiri dari dua ruang yaitu Sumbung sebagai tempat tidur dan Sali sebagai dapur.
– ”Banua Tallung Lanta’’”, yaitu bangunan pemerintahan adat Toraja yang mempunyai tiga ruang. Ruang ruang itu adalah Sumbung, Sali dan Tangdo’ yang berfungsi sebagai tempat upacara pengucapan syukur dan tempat istirahat tamu tamu.
– ”Banua Patang Lanta’’”, yaitu bangunan tongkonan tertua dari penguasa adat yang memegang fungsi adat ”Togkonan Pasio’ aluk”.
Dalam proses pembangunan bangunan tradisional Toraja ini pengerjaannya dibagi menjadi 2 tahap yaitu :
– ”Tahap Mangraruk”, yaitu sebagai pekerjaan permulaan untuk mengumpulkan seluruh bahan bahan bangunan yang diperlukan .
– ”Tahap Ma’ Tamben” atau ”Ma’ Pabendan”, yaitu membangun suatu tempat untuk menyimpan bahan bangunan yang dinamakan “Barung” atau ”Loko Pa’ Tambenan”, dimana semua bahan bangunan diolah diukur untuk persiapan pendirian bangunan tersebut.
Setelah semua pekerjaan tersebut diatas sudah selesai, dilanjutkan dengan pengerjaan ”Ma’ Pabendan”. Pekerjaan ini adalah pekerjaan permulaan dari pembangunan karena semua bahan bangunan sudah disiapkan, melalui tahap-tahap sebagai berikut :
– ”Tahap Pabenden Leke’”, yaitu tempat membuat bangunan yang merupakan tempat mendirikan bangunan sampai selesai. Jadi bangunan rumah adat Toraja selama didirikan seolah olah tidak terkena sinar matahari dan hujan.
– ”Tahap No’ton Parandangan’”, yaitu mengatur dan menanam batu pondasi yang dipahat atau asli yang sudah cukup baik untuk menjadi batu pondasi.
– ”Tahap Ma’ Pabendan’”, yaitu mendirikan tiang tiang bangunan utama diatas batu parandangan yang sudah diatur dalam ukuran persegi panjang.
– ”Tahap Ma’ A’riri Posi’”, yaitu mendirikan satu tiang tengah bangunan yang merupakan salah satu tiang yang mempunyai arti dalam pembangunan rumah adat Toraja.
– ”Tahap Ma’ Sangkinan Rindingan”, yaitu pekerjaan memasang dinding pengosokan berjejer keliling bangunan dan kayu Sangkinan Rindingan ini sama besar dan tingginya begitu pula pada jarak pemasangannya kecuali pada bagian sudut bangunan.
– ”Tahap Ma’ Kamun Rinding”, yaitu pemasangan semua dinding yang dimasukkan dari atas ke dalam Sangkinan Rinding melalui semacam jaluran rel sebagai bingkai yang terpasang mati.
– ”Tahap Ma’ Petuo”, yaitu pemasangan 4 buah kayu Ma’ Petuo sebagai tumpuan bagi kayu bubungan.
– ”Tahap Ma’ Kayu Beke’i”, yaitu pemasangan kayu diatas kayu Ma’ Petuo sebagai tempat mengatur kayu kayu membentuk segitiga dengan badan rumah.
– ”Tahap Ma’ Paleke’ Indo Tekeran”, yaitu semua kayu yang panjangnya 3,5 m, dengan persilangan pada ujung atasnya dan ujung bawahnya disambung pada kayu Rampanan Papa’ sebagai tempat mengatur kayu kecil kecil yang bernama Tarampak.
– ”Tahap Ma’ Rampani”, yaitu tempat menumpunya kayu Rampanan yang fungsinya mengikat dan mengatr atap.
– ”Tahap Ma’ Palaka Indo’ Para”, yaitu merupakan bagian depan agak miring dari bagian atap bangunan.
– ”Tahap Ma’ Paringgi”, yaitu pemasangan kayu pamiring yang membentuk longa dan berpangkal pada kayu Rampanga Papa Longa.
– ”Tahap Ma’ Pabendan Tulak Somba”, yaitu pemasangan kayu Tulak Somba menopang bagian depan dan bagian belakang Longa.
– ”Tahap Ma’ Benglo Longa”, yaitu tangga pembantu pemasangan semua bagian dari Longa dan bila telah selesai maka Ma’ Benglo Longa dibongkar.
– ”Tahap Ma’ Papa”, yaitu merupakan pekerjaan yang sangat berat karena pemasangan Tarampak sampai ke bubungan tidak boleh berhenti.
Semua bangunan rumah adat Toraja mempunyai peranan dan fungsi tertentu, fungsi fungsi tersebut tidak akan berubah sepanjang letak dari bangunan itu tidak berubah yaitu atap menghadap keutara sebagai orientasi bangunan. Faktor inilah yang menyebabkan konstruksi dan arsitektur bangunan tetap sebagai dasar perancangan Tongkonan, karena adanya hubungan pandangan keyakinan yang kuat dan tidak dapat dipisahkan dari bangunan.
Jadi bagian bagian dari rumah adat Toraja pulalah yang menentukan struktur arsitekturnya antara lain ; rumah adat Toraja dibagi atas 2 bagian besar yaitu dengan menarik garis besar dari utara ke selatan yang dibedakan dengan nama Kale Banua Matallo dan Kale Banua Matumpu’ yaitu bagian rumah sebelah timur dan bagian rumah sebelah barat.
Sedangkan bagian luar dan dalam dibagi sebagai berikut :
Interior rumah adat Toraja.
– ”Suluk Banua”, yaitu kolong dari bangunan rumah yang dibentuk oleh tiang tiang yang dihubungkan oleh sulur yang dinamakan roroan. Peranannya sebagai tempat mengurung hewan hewan ternak pada malam hari untuk menjaga tuannya diatas rumah.
– ”Kale Banua”, yaitu bagian badan dari bangunan yang terdiri dari ruang/petak mulai utara ke selatan.
– ”Pentiroan”, yaitu jendela jendela pada seluruh badan rumah yang kelihatan pada 4 sisi. Jendela jedela itu adalah :
- ”Pentiroan Tingayo”, yaitu 2 buah jendela yang terletak dibagian muka rumah menghadap ke utara. Jendela ini dapat terbuka dan tertutup setiap saat.
- ”Pentiroan Matallo”, yaitu jendela yang terletak disebelah timur bangunan, pemasangannya pada tengah bangunan pada ruang tengah. Jendela ini dibuka pada pagi hari dan dibuka terus pada waktu upacara pengucapan syukur.
- ”Pentiroan Mampu’ ”, yaitu jendela yang terletak disebelah barat bangunan. Jendela ini dibuka pada waktu ada upacara pemakaman orang mati.
- ”Pentiroan Pollo’ Banua”, yaitu jendela yang terletak dibelakang rumah menghadap ke selatan. Jendela ini terbuka terus pada waktu upacara kematian atau bila didalamnya ada orang yang sakit.
– ”Rattiang” atau disebut juga loteng yaitu bagian atas dari rumah yang sebagian ditutupi atap. Berfungsi untuk menyimpan peralatan dan pakaian upacara adat.
RUMAH ADAT TORAJA,RAGAM HIAS DAN ORNAMEN
Images from : http://www.indonesia.travel/id/destination/477/tana-toraja/article/100/tongkonan-rumah-adat-toraja-yang-mengagumkan-penuh-makna
Images from : http://www.indonesia.travel/id/destination/477/tana-toraja/article/100/tongkonan-rumah-adat-toraja-yang-mengagumkan-penuh-makna
”Tingayo Banua” atau ”Lindo Banua”, yaitu bagian muka bangunan yang digunakan sebagai tempat melakukan upacara pengucapan syukur dan pemujaan. |
Matallo Banua”, yaitu bagian sebelah timur atau kanan bangunan sebagai tempat acara pemujaan kepada Dea.
– ”Matampu Banua”, yaitu bagian bangunan sebelah barat. – ”Pollo Banua”, yaitu bagian belakang bangunan sebagai tempat pelepasan orang mati. |
0 komentar:
Posting Komentar